Dengan Meningkatnya Penyebaran Covid-19 Di Indonesia, Respon Terhadap Pandemi Terserak | Melbourne Asia Review
Inquiries

Melbourne Asia Review is an initiative of the Asia Institute. Any inquiries about Melbourne Asia Review should be directed to the Managing Editor, Cathy Harper.

Email Address

Enam bulan setelah kasus pertama penderita COVID-19 di Indonesia diumumkan secara resmi, telah menjadi jelas bahwa pemerintah Indonesia gagal untuk mengontrol pandemi ini. Pada awal bulan Desember 2020, jumlah pasien terinfeksi telah naik tajam dan terus meningkat hingga lebih dari 5.000 kasus per hari. Tingkat pengetesan pada angka 20.910 tes per 1 juta penduduk, adalah termasuk yang paling rendah di dunia, dan tingkat kepositifan di angka 20 persen adalah termasuk yang tertinggi. Respon pemerintah nasional terhadap pandemi tergambarkan dengan baik lewat penolakannya terhadap strategi penutupan wilayah yang terkoordinasi, serta ketakpedulian pada kemampuan respon dari pusat-pusat kesehatan masyarakat di tingkat lokal.

Secara global, penilaian terhadap kinerja respon pandemi lebih berfokus pada kemampuan dan kecakapan birokrasi, tingkat kepercayaan pada pemerintah dan kualitas kepemimpinan. Namun, di Indonesia, situasi pasifnya pemerintah nasional menjadi sangat kontras dibandingkan dengan kesigapan pemerintah daerah – baik tingkat propinsi, kabupaten / kotamadya dan tingkat lebih bawah – yang telah bertindak relatif cepat, menginisiasi aturan pembatasan pergerakan dan juga menyiapkan jaring pengaman sosial. Bersamaan dengan ini, respon dini di garis depan terhadap kriris sosial, ekonomi dan kesehatan sebab pandemi, juga datang dari inisitif-inisiatif berbagai komunitas mandiri.

Di berbagai tingkat pemerintahan terdapat respon pandemi yang cukup bervariasi, termasuk perbedaan yang memunculkan konflik, baik antara pemerintah pusat dan daerah maupun antar pemerintah daerah. Pengamatan ini menunjukkan ketegangan-ketegangan dan kontestasi pada berbagai tingkat pemerintahan, yang mana kajian-kajian arus utama mengenai pandemi belum memeriksa hal ini.

Dalam analisa ini, pendekatan politik skalar kami terapkan untuk menjelaskan hasil-hasil penanganan pandemi di Indonesia hingga saat ini. Kami memeriksa bagaimana kelompok-kelompok sosial yang berperan telah memanfaatkan berbagai lembaga di berbagai tingkat pemerintahan untuk memajukan atau mempertahankan kepentingan-kepentingan mereka. Lembaga-lembaga ini adalah faktor sangat penting dalam penjelasan mengenai hasil-hasil penanganan pandemi. Bentuk dan kemampuan dari lembaga-lembaga ini pada dasarnya merupakan hasil dari perjuangan dan konflik mengenai distribusi kekuasaan politik dan sumber daya di antara kelompok-kelompok sosial. Analisa kami menyingkap bahwa berbagai respon pandemi di berbagai tingkat pemerintahan hingga komunitas, adalah hasil dari konfigurasi koalisi politik dan kondisi material yang berbeda-beda.

Variasi dan pertentangan dalam respon pandemi antara pusat, daerah dan kelompok informal akar rumput telah terbukti muncul dalam kasus-kasus di negara lain seperti Amerika Serikat, Australia, India dan Thailand. Di Indonesia, variasi dan pertentangan ini menunjuk pada ketegangan lebih dalam yang sudah ada sebelumnya terkait proyek politik desentralisasi. Acapkali, respon pandemi terpecah-pecah dan terserak-serak sampai pada titik dimana akan menjadi sangat problematik untuk berbicara secara umum tentang sebuah ‘respon Indonesia’. Bupati yang reformis, para walikota dan gubernur yang keterpilihannya berdasar pada dukungan rakyat yang luas telah menunjukkan kinerja yang lebih responsif untuk menangani masalah-masalah sosial dan ekonomi yang muncul sebab pandemi, berbeda secara kontras dibanding kepala daerah yang keterpilihannya berdasar pada kroni pemodal dengan semata bermodal politik uang atau jaringan patronase, dan atau mereka yang abai dengan kepentingan sosial lebih luas. Sebaliknya, respon pemerintah pusat mencerminkan konsensus oligarki yang jauh lebih sempit dalam memprioritaskan pertumbuhan ekonomi ketimbang kesehatan masyarakat. Dapat diperkirakan, hal ini telah menyebabkan ketegangan yang cukup besar antara aktor-aktor tata kelola pemerintahan pada skala yang berbeda-beda dan menghadirkan hambatan yang signifikan untuk terbangunnya suatu sistim respon pemerintah yang menyeluruh dan terkoordinasi. Temuan ini menyiratkan bahwa atas berbagai respon pandemi yang muncul lebih tepat untuk dipahami sebagai konflik distribusi atas kekuatan politik dan ekonomi pada skala pemerintahan yang berbeda ketimbang sebagai masalah tindakan kolektif global.

Kontestasi Dalam Desentralisasi : respon-respon pemerintah daerah

Semenjak desentralisasi politik di Indonesia telah mengubah skala tata kelola pemerintah di bidang-bidang layanan publik terpenting seperti kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan sosial menjadi berada di tangan kabupaten dan kotamadya, hal ini telah menjadi titik kritis yang menentukan bagaimana krisis pandemi ditanggulangi di lapangan. Pemerintah kabupaten dan kotamadya memiliki kontrol dan tanggung jawab utama dan pertama terhadap pengelolaan pegawai dan anggaran untuk sekolah-sekolah, rumah sakit dan puskesmas serta program-program kesejahteraan sosial dan aturan-aturan tanggap darurat. Namun, seperti halnya hasil-hasil dari desentralisasi politik secara umum yang berbeda-beda, kesuksesan dari respon-respon lokal juga tak sama. Sementara kepentingan elite Orde Baru masih tetap dominan, pelaksanaan otonomi di daerah tingkat 1, 2 dan desa, bersama-sama dengan munculnya klas-klas kapitalis menengah di tingkat propinsi, telah menunjukkan ruang-ruang peluang yang tidak biasa baik bagi aktor elit maupun non elit untuk menguji strategi dan taktik pendekatan yang berbeda-beda.

Konfigurasi-konfigurasi ini, pada gilirannya, mempengaruhi, secara lebih jauh bagaimana kabupaten dan kotamadya mampu memobilisasi sumberdaya secara maksimal dalam rangka menangani krisis. Di kabupaten dan kotamadya yang memiliki sejarah politik rakyat dan mobilisasi social, termasuk kampanye pemilihan kepala daerah, serta memiliki dorongan kuat dari organisasi-organisasi akar rumput, maka pejabat-pejabat setempat mendemonstrasikan kinerja yang responsif dalam hal penyelenggaraan bantuan sosial. Pemerintah daerah yang sama mampu secara relatif cepat mengamankan ketersediaan perlengkapan pelindung diri bagi tenaga kesehatan di rumah sakit-rumah sakit dan puskesmas-puskesmas, dan pada fase-fase awal pandemi daerahnya tidak mengalami tingkat kasus yang tinggi di kalangan tenaga kesehatan.

Akses pada tanah, perbedaan-perbedaan sosial, dan dinamika hubungan-hubungan kekuasaan setempat, juga berpengaruh terhadap bagaimana pemerintah daerah menangani krisis. Variasi yang tinggi dalam hal hubungan-hubungan sosial dan kekuasaan di banyak wilayah secara geografis telah menciptakan berbagai ruang dan peluang berbeda-beda bagi berbagai aktor sosial dalam kontestasi pembagian sumber daya. Dengan demikan, desentralisasi politik di masa paska Orde Baru telah meningkatkan kontestasi-kontestasi yang ada saat makelar kekuasaan di daerah berada dalam posisi di antara elit-elit nasional, ataupun saat para pemodal menawarkan rayuan ekonomi pada para pemilih di daerah yang menjadi andalan pasokan suara bagi makelar kekuasaan.

Misalnya, di beberapa kabupaten di pedalaman Jawa Tengah, di mana pertanian skala kecil mendominasi dengan tingkat diferensiasi sosial yang relatif rendah, pemerintah kabupaten dan desa mampu menyampaikan pesan kesehatan masyarakat secara efektif serta memobilisasi sumber daya untuk menjalankan karantina pada warga yang pulang dari episentrum krisis di Jakarta dan Jawa Barat. Pada bulan-bulan awal pandemi, tindakan ini cukup berhasil membatasi penyebaran virus di daerah pedesaan. Sebaliknya, di kabupaten-kabupaten pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur di mana industri, agribisnis dan kehutanan komersial lebih dominan, pemerintah kabupaten umumnya kurang responsif baik dalam penyiapan layanan kesehatan maupun dalam penyaluran bantuan sosial. Selain itu, dengan akses lahan yang terbatas di kabupaten-kabupaten ini, penduduk setempat lebih bergantung pada pekerjaan di sektor industri yang kurang memberikan perhatian pada penerapan protokol kesehatan dan keselamatan, atau pada sektor informal yang sering melibatkan perjalanan antar wilayah, antar kota dengan tingkat penularan COVID-19 yang tinggi. Oleh karena itu bukan kebetulan jika di kabupaten-kabupaten ini sifat penularan lebih luas pada populasi umum dan tingkat infeksi lebih tinggi di antara petugas kesehatan pada bulan-bulan awal pandemi.

Di tingkat provinsi, tanggapan terhadap pandemi juga berbeda-beda. Pemerintah provinsi yang dipilih atas dasar dukungan rakyat yang relatif luas seperti di Jawa Barat dan Jawa Tengah, mampu memproduksi atau mengamankan pasokan medis, mengkoordinasikan penutupan wilayah, menerapkan prosedur penelusuran kontak pasien positif COVID-19 (tracing) serta menyediakan anggaran bantuan sosial. Sedang di provinsi seperti Sulawesi Selatan, pemerintah provinsi dan kabupaten menyalahgunakan dana bantuan sosial untuk memperkuat kartel partai dan menarik pemilih untuk pemilihan kepala daerah mendatang. Namun, tanggapan-tanggapan pemerintah daerah yang lebih proaktif sebagian besar terhalang karena pemerintah pusat gagal mengamankan pasokan peralatan pengujian secara nasional dan secara aktif menentang inisiatif pemerintah provinsi untuk menerapkan penutupan wilayah. Pada saat yang sama, komunikasi publik oleh pemerintah provinsi, khususnya di Jakarta, sebagian besar lebih ditujukan kepada kelas menengah dan kurang memberikan perhatian pada tantangan yang dihadapi oleh masyarakat kelas bawah yang banyak bekerja di sektor informal. Dan secara umum dapat dikatakan di seluruh pemerintahan tingkat provinsi tidak menunjukkan inisiatif memadai dalam hal mengembangkan respon krisis pandemi yang efektif pada lebih dari 60 persen warga kelas bawah yang bekerja di sektor informal.

Daya hidup akar rumput

Sejumlah respon pandemi yang paling awal dan paling efektif di Indonesia terkait erat dengan mobilisasi masyarakat dan bentuk-bentuk solidaritas sosial meliputi penutupan wilayah berbasis desa atau kampung, termasuk dukungan terhadap petugas kesehatan dan anggota masyarakat yang rentan. Kepemimpinan lokal baik formal maupun informal yang didukung oleh mobilisasi warga adalah faktor sangat penting dalam memastikan sumber daya yang diperlukan dalam rangka respon COVID-19 dan pemberian bantuan sosial bagi warga rentan. Sifat respon seperti ini cukup umum terjadi pada komunitas-komunitas yang terikat secara geografis dan memiliki sejarah-pengalaman mobilisasi sosial dan politik. Di daerah miskin Jakarta yang sempit dan padat penduduk, komunitas miskin perkotaan yang secara historis terpinggirkan, diabaikan atau selalu terancam penggusuran, mampu memanfaatkan kapasitas pengorganisasian informal yang ditempa oleh sejarah panjang pengorganisiran diri untuk advokasi komunitas mereka sendiri. Di Jakarta Utara, Jaringan Rakyat Miskin Kota mampu memobilisasi jaringan dan sumber daya di komunitas miskin perkotaan yang sudah memiliki sejarah pengorganisasian sosial dan kampanye akar rumput baik yang diinisiasi secara independen oleh warga ataupun melalui program komunitas yang didukung oleh LSM berbasis aktivis.

Di kota yang lebih kecil seperti Yogyakarta dan Salatiga di Jawa Tengah, dapur komunitas atau bantuan paket makanan dengan cepat diselenggarakan oleh masyarakat untuk memberikan dukungan bagi pekerja sektor informal yang rentan, dari pekerja sektor transportasi daring hingga pedagang pasar tradisional, supir becak dan pekerja seks. Beberapa dari inisiatif ini muncul dari komunitas kelas pekerja setempat, sementara inisiatif lainnya datang dari aktivis sosial yang tinggal di perkotaan dengan jaringan sosial yang bermurah hati menyumbangkan sumber daya untuk orang-orang yang membutuhkan.

Di pedesaan, tindakan respon pandemi setempat memiliki karakter yang berbeda. Pada bulan-bulan awal krisis pandemi, puluhan ribu orang yang hidup dalam pekerjaan informal atau kehilangan pekerjaan di sektor industri, meninggalkan kota-kota besar untuk kembali ke kampung halaman di pedesaan. Di tingkat desa, aktivis masyarakat di Jawa Tengah menceritakan pada kami bagaimana respon cepat dilakukan oleh warga, membangun fasilitas karantina dan melakukan pengadaan logistik untuk membantu mereka yang baru kembali dari kota besar. Menghadapi kesulitan ekonomi yang meluas bagi banyak orang, kelompok-kelompok tani lokal berinisiatif membuat mekanisme pengumpulan dan pendistribusian bantuan hasil bumi ke masyarakat perkotaan dan juga pedesaan yang terkena dampak paling parah secara ekonomi. Hingga saat ini, daerah yang didominasi petani kecil terus menunjukkan kapasitas yang kuat untuk mengurangi penyebaran virus melalui interaksi yang lebih terbatas hanya di lingkungan desa setempat, serta menjalankan gotong royong saling bantu dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari diantara warga desa.

Dalam pengamatan kami terhadap respon pandemi dimasa-masa awal, meskipun banyak warga kehilangan pendapatan secara signifikan, namun inisiatif akar rumput setempat berperan sangat penting dalam mengurangi potensi krisis sosial atau ekonomi dalam skala lebih besar bagi sebagian besar populasi. Dukungan masyarakat di tingkat akar rumput, bersamaan dengan program bantuan keuangan (yang sangat tidak merata) dari berbagai tingkat pemerintahan, secara signifikan meredam dampak negatif ini. Di sini, krisis COVID-19 menunjukkan dengan terang betapa terbatasnya fungsi pemerintah dalam menjawab kebutuhan sosial, ekonomi dan kesehatan sebagian besar masyarakat baik di pedesaan maupun perkotaan. Kemampuan pengorganisasian berdasar inisiatif sendiri yang muncul dari bagian-bagian masyarakat di pedesaan dan perkotaan di saat krisis menunjukkan adanya ruang-ruang signifikan yang beroperasi dengan baik di luar struktur pemerintahan negara ataupun diabaikan oleh negara.

Kesepakatan Sempit Para Elit : respon pemerintah pusat

Pencapaian-pencapaian bagus dalam penanganan pandemi di tingkat daerah dikesampingkan oleh keputusan-keputusan yang diambil pemerintahan Joko Widodo. Pandemi COVID-19 di Indonesia menghasilkan respon-respon pemerintah pusat yang dibingkai oleh konsensus elit-oligarki mengenai pembangunan infrastruktur dan prioritas pertumbuhan PDB dari pemerintahan Jokowi. Masa jabatan kedua Jokowi sebagai presiden sejak terpilih kembali pada 2019 telah melibatkan sebuah “koalisi besar” kepentingan oligarki yang terkait dengan berbagai proyek infrastruktur nasional. Inti dari koalisi ini adalah distribusi manfaat proyek kepada pendukung dan mantan musuh politik sebagai imbalan atas dukungan politik di tingkat elit, dengan harapan bahwa pertumbuhan PDB akan mengamankan dukungan rakyat yang lebih luas. Sejalan dengan itu, agenda penangan COVID-19 pada skala nasional hanya berkisar pada pengurangan risiko dan ancaman yang ditimbulkan oleh pandemi terhadap tujuan ekonomi yang luas ini, ketimbang demi kesehatan masyarakat itu sendiri.

Titik berat dari respons pemerintah pusat difokuskan pada penanggulan kontraksi ekonomi dan kesulitan ekonomi yang dapat menyebabkan keresahan sosial, untuk menghindari gangguan terhadap program infrastruktur nasional dan proyeksi pertumbuhan ekonomi. Pendekatan ini, pada bulan-bulan awal krisis menempatkan pemerintah pusat dalam situasi kurang enak terkait respon-respon tingkat provinsi dan lokal. Pemerintah provinsi dan lokal membutuhkan tindakan nyata di tingkat nasional dalam hal pembatasan pergerakan warga, penyediaan infrastruktur pengujian dan alat pelindung diri (APD) bagi personil medis di garis depan. Sebaliknya, pemerintah pusat pada awalnya hanya menyelenggarakan satu titik pengetesan COVID-19, yang berbasis di Jakarta, sambal sekaligus mendorong pariwisata internasional dan domestik di awal-awal bulan tahun 2020.

Di bulan-bulan awal pandemi acapkali perselisihan terbuka terjadi antara pemerintah pusat dan daerah mengenai sumber daya terkait kemampuan melakukan pengetesan massal; kurangnya alat pelindung diri bagi tenaga medis memicu perselisihan besar-besaran antara Kementerian Kesehatan dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI); juga penolakan pemerintah pusat untuk memberlakukan pembatasan pergerakan. Pemerintah kabupaten akhirnya turut dalam kebijaksanaan pusat untuk memprioritaskan perlindungan ekonomi sementara tingkat pengetesan dan pelacakan kontak pasien positif tetap saja sangat rendah. Pengadaan APD masih menjadi masalah di banyak daerah, dan pemerintah pusat – melalui kegagalannya untuk bertindak – secara efektif melepaskan tanggung jawabnya. Sementara keputusan untuk tidak menerapkan penutupan wilayah secara nasional pada awal pandemi tampaknya memang telah meredam beberapa dampak sosial dan ekonomi bagi kelompok rentan, namun dengan pembukaan kembali ekonomi mulai Juli 2020 telah menunjukkan pertumbuhan eksponensial dalam jumlah kasus positif COVID-19.

Awal September, sejumlah elit nasional berargumen secara publik bahwa krisis kesehatan yang tidak diatasi hanya akan memperdalam krisis ekonomi yang dihadapi Indonesia. Namun, usaha-usaha yang dilakukan pemerintah propinsi Jakarta untuk menerapkan kembali PSBB karena meningkatnya krisis sistim Kesehatan umum di Jakarta, telah dengan aktif disabotase oleh menteri-menteri Jokowi yang berargumen bahwa pembatasan seperti itu tidak efektif. Konflik terbaru ini menunjukkan dengan terang bagaimana respon-respon pemerintah daerah cukup sering didorong oleh berbagai kepentingan sosial yang sangat bermacam-macam, sementara respon pemerintah pusat dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan sempit dari elit oligarki. Kontestasi yang terus berlangsung inilah yang menciptakan problem-problem utama dalam hal koordinasi dan kadang menjadi titik untuk terjadinya konflik terbuka.

Lebih jauh, kelambanan pemerintah pusat dalam menyediakan layanan kesehatan publik telah mendorong berbagai aspek layanan kesehatan terkait pandemi untuk diurusi pasar di mana perusahaan obat-obatan milik negara dan penyedia layanan kesehatan swasta akan memperoleh banyak keuntungan. Tak seperti negara lain di Asia Tenggara, di Indonesia untuk pengetesan sukarela dengan alat tes swab paling handal orang pribadi harus membayar antara 2-5 juta rupiah. Lebih lanjut, pada bulan Agustus dan September 2020, data menunjukkan bahwa rumah sakit di banyak wilayah Indonesia, khususnya di zona merah Jakarta dan Jawa Timur, sudah mendekati atau telah mencapai kapasitas penuh, dan dalam beberapa kasus sudah menolak pasien COVID-19. Sementara pemerintah pusat berjanji bahwa semua perawatan COVID-19 akan ditanggung oleh anggaran pemerintah, aktivis hak asasi manusia di Jawa Tengah menyatakan bahwa rumah sakit mengenakan biaya untuk sejumlah pasien COVID-19. Perkembangan ini menunjukkan meningkatnya penerapan sistem berbayar untuk diagnosa dan pengobatan COVID-19, yang selanjutnya melemahkan potensi untuk meningkatkan pendekatan ‘test, trace dan treat’ yang efektif.

Problem penanggulangan krisis terkait peningkatan kasus COVID-19

Kontraksi ekonomi tak dapat dihindari selama pandemi, dan pada kuartal kedua tahun 2020 Indonesia mengalami penurunan ekonomi paling tajam sejak krisis ekonomi 1998. Walaupun keseluruhan kontraksi ekonomi hingga saat ini tidak seberat negara lain, gelombang pertama pandemi di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda telah mencapai puncak, artinya kontraksi masih berkemungkinan menjadi lebih serius seiring dengan peningkatan krisis pandemi. Laporan keuangan menunjukkan bahwa kontraksi terbesar dalam PDB terjadi pada pengeluaran rumah tangga dan investasi. Tanpa strategi atau bahkan niat untuk mengendalikan pandemi secara efektif, sektor-sektor ini tidak mungkin bisa melakukan pemulihan secara signifikan dan bahkan dapat memburuk karena kasus harian baru terus meningkat.

Beberapa pemerintahan propinsi meneruskan usaha untuk meningkatkan fasilitas kesehatan umum, khususnya dalam hal kapasitas melakukan pengetesan di daerah. Namun, kegagalan pemerintah pusat untuk bertindak dengan sungguh-sungguh dalam mendukung terjaminnya pengadaan perlengkapan standar dan bahan baku – justru menyerahkannya pada pasar- telah menghalangi berbagai usaha ini; dimana propinsi-propinsi hanya menerima perlengkapan di bawah standar atau bahan-bahan kimia yang tak banyak manfaatnya. Berbagai usaha dari banyak pemerintahan di tingkat kabupaten telah direduksi menjadi hanya pemberian edukasi kesehatan masyarakat mengenai perlunya memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak fisik, sambil mencoba menerapkan sanksi di tingkat lokal untuk menjamin dijalankannya protokol kesehatan. Kepatuhan pemerintah daerah pada agenda politik nasional ‘ekonomi yang utama dan pertama’ ini menimbulkan tanda tanya mengenai kemampuan dan kemauan pemerintah kabupaten untuk terlibat lebih jauh dalam konflik terbuka dengan pemerintah provinsi dan pusat mengenai sumber daya infrastruktur kesehatan publik. Pada saat yang sama, beberapa pemerintah daerah akan menghadapi persoalan menurunnya dukungan masyarakat tekait respon pandemi jika mereka tidak memiliki rencana tindakan yang jelas dan memadai dalam situasi terus meningkatnya jumlah kasus positif dan kematian akibat COVID-19.

Penunjukan kepala staff Angkatan darat sebagai wakil ketua gugus tugas nasional penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi menandakan bahwa stabilitas sosial dan politik adalah hal yang sangat dipikirkan pemerintah pusat. Dengan memobilisasi organisasi-organisasi sipil paramiliter seperti Pemuda Pancasila pemerintah pusat menerapkan penegakan protokol dan ketertiban. Mobilisasi seperti ini memiliki akar dalam strategi kediktatoran Orde Baru. Kegagalan pemerintah dalam menangani pandemi dilemparkan menjadi kesalahan masyarakat dalam hal ketidakdisiplinan individu dan ini kemudian dijadikan alasan untuk digunakannya kekuatan represif.

Saat COVID-19 menyebar secara luas di kalangan miskin, buruh pabrik, sektor informal dan pedesaan, kemampuan mobilisasi dari masyarakat bawah untuk secara efektif mengurangi dampak kesehatan dan ekonomi belum dapat diketahui. Kita belum dapat mengukur daya tahan kelompok-kelompok masyarakat ini beserta jaringan-jaringan sosial di dalamnya ketika menghadapi persoalan kesehatan dan ekonomi dalam jangka waktu yang lebih panjang, khususnya ketika permintaan domestik terhadap kebutuhan dasar tetap turun. Sangat jelas bahwa perkembangan dari krisis pandemi ini akan sangat mempengaruhi buruh-buruh dalam industri yang penerapan protokol kesehatannya tidak memadai serta kalangan buruh yang tidak cukup memiliki kemampuan untuk menuntut kondisi kerja yang aman. Selain itu, mereka yang berada di sektor informal, orang-orang yang bergantung pada transportasi massal, dan daerah-daerah di mana organisasi masyarakat kesulitan untuk memobilisasi sumber daya sosial yang memadai, juga akan terkena dampak yang besar. Kelompok lain yang juga dikorbankan demi prioritas ekonomi adalah petugas kesehatan di garis depan yang pada gilirannya akan melemahkan kemampuan respon dari sistem kesehatan. Ditambah dengan sistem kesehatan yang menunjukkan tanda-tanda telah mencapai batas kemampuannya serta langkah-langkah penting dalam pengurangan resiko seperti pengetesan yang sebagian besar hanya tersedia secara berbayar – artinya pengetesan akan selalu terbatas, maka ini berarti bahwa semakin banyak orang yang terinfeksi tidak akan teridentifikasi atau akan kesulitan untuk mengakses layanan medis jika kondisi mereka menjadi akut.

This is an updated version of the article published in English on October 5, 2020. Many thanks to Didot Harimurti for the translation.